Kasus perundungan tragis yang menimpa seorang bocah di Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, menuai kecaman luas. Wakil Ketua Komisi X DPR RI secara tegas mendesak agar kasus ini diproses hukum hingga tuntas. Ia menilai tindakan yang dialami korban bukan hanya bentuk kekerasan fisik, tetapi juga perundungan psikologis yang dapat meninggalkan luka jangka panjang. Peristiwa memilukan ini pun telah memicu gelombang kemarahan publik, terutama setelah video kejadian menyebar luas di media sosial.
Kepolisian Sektor Ciparay melalui Kapolsek Ipti Ilmansyah mengungkapkan kronologi kejadian. Korban yang diketahui masih di bawah umur awalnya ditawari minuman keras jenis tuak oleh para pelaku. Setelah menolak, korban dipaksa meminum tuak dan akhirnya meminum setengah gelas. Tidak berhenti sampai di situ, korban kemudian diceburkan ke dalam sebuah sumur oleh para pelaku yang terus tertawa, seolah menjadikan kekerasan ini sebagai hiburan semata.
Dalam video yang beredar, terlihat korban dalam kondisi lemas dan wajah penuh darah. Saat ditarik kembali dari dalam sumur, ia tampak terdiam sejenak sebelum akhirnya mengelap darah yang mengalir dari wajahnya. Momen memilukan ini terekam jelas, memperlihatkan ketidakberdayaan korban di tengah gelak tawa para pelaku yang masih terus terdengar. Video tersebut menjadi bukti visual yang memperkuat tuntutan masyarakat terhadap penegakan hukum yang adil dan tegas.
Desakan agar pelaku diadili secara hukum tidak hanya datang dari DPR, tetapi juga dari berbagai lembaga perlindungan anak, aktivis sosial, dan masyarakat sipil. Mereka menuntut agar aparat penegak hukum tidak hanya memproses kasus ini sebagai perundungan biasa, melainkan sebagai kekerasan terhadap anak dengan unsur paksaan, penganiayaan, dan pelecehan martabat. Mengingat usia korban yang masih sangat belia, trauma yang dialami dapat berdampak jangka panjang pada perkembangan mental dan emosionalnya.
Wakil Ketua Komisi X DPR menekankan bahwa kejadian ini adalah alarm keras bagi dunia pendidikan dan pengasuhan anak. Ia meminta agar semua pihak — mulai dari keluarga, sekolah, hingga aparat pemerintah daerah — mengambil peran aktif dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak. Ia juga mengusulkan adanya penguatan kurikulum anti-perundungan dan pendidikan karakter sejak dini, agar kekerasan semacam ini tidak terus terulang.
Sementara itu, polisi telah mengamankan para pelaku dan masih melakukan pendalaman terkait motif serta kemungkinan adanya unsur pidana lain. Pihak kepolisian berjanji akan menindaklanjuti kasus ini sesuai dengan hukum yang berlaku, dan tak segan membawa kasus ini ke ranah peradilan anak jika pelaku juga berada dalam kategori usia dini.
Kasus ini menjadi potret buram tentang bagaimana kekerasan terhadap anak masih bisa terjadi di ruang terbuka tanpa adanya rasa takut dari pelaku. Padahal, korban adalah pihak paling rentan yang seharusnya dilindungi oleh sistem hukum dan sosial masyarakat. Ketika tawa pelaku menjadi latar suara penderitaan korban, maka saatnya hukum dan rasa kemanusiaan bersuara lebih keras.
Kejadian di Ciparay ini tidak boleh berhenti sebagai viralitas sesaat. Ia harus menjadi momentum evaluasi mendalam terhadap tanggung jawab kolektif masyarakat dalam menjaga anak-anak dari kekerasan, serta menegakkan keadilan untuk setiap luka yang tak kasat mata.